Teori tujuan pemidanaan adalah teori relatif. Teori ini berporos
pada tiga tujuan utama pemidanaan, yaitu preventif; untuk melindungi
masyarakat dengan menempatkan pelaku kejahatan terpisah dari masyarakat. dalam
hal pemidanaan hal ini biasa disebut dengan incapacition.
Deterrence (menakuti) dalam
pemidanaan tidak lain agar timbul rasa takut untuk melakukan kejahatan. Tujuan
ini dibagi atas tiga bagian, yaitu tujuan yang bersifat individual dimaksudkan
agar pelaku merasa jerah untuk melakukan kejahatan kembali. Tujuan deterrence yang bersifat publik, agar
anggota masyarakat lain merasa takut untuk melakukan kejahatan, sedangkan
tujuan deterrence yang bersifat
jangka panjang agar dapat memelihara kelanggengan sikap masyarakat terhadap
pidana, teori ini sering juga disebut sebagai educative theory atau denunciation
theory.
Sesuai dengan politik hukum
pidana, maka tujuan pemidanaan harus diarahkan kepada perlindungan masyarakat
dari kesejahteraan serta keseimbangan dan keselarasan hidup dalam masyarakat
dengan mempersatukan kepentingan masyarakat/negara, korban, dan pelaku“
Atas dasar dan tujuan tersebut.
maka pemidanaan harus mengandung unsur-unsur yang bersifat :
1. Kemanusiaan, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut, menjunjung
tinggi harkat dan martabat seseorang.
2. Edukatif, dalam arti bahwa pemidanaan itu mampu membuat orang sadar
sepenuhnya atas perbuatan yang dilakukan dan menyebabkan ia mempunyai sikap
jiwa yang positif dan konstruktif bagi usaha penanggulangan kejahatan.
1. Teori Absolut atau Teori Pembalasan Menurut teori ini pidana
dijatuhkan karena orang telah melakukan kejahatan. Pidana sebagai akibat mutlak
yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan.
Jadi, dasar pembenarannya terletak pada adanya kejahatan itu sendiri. Seperti
dikemukakan Johanes Andenaes bahwa
tujuan primer dari pidana menurut teori
absolut ialah untuk memuaskan tuntutan keadilan. Sedangkan pengaruh yang
menguntungkan adalah sekunder. Tuntutan keadilan yang sifatnya absolut ini
terlihat dari pendapat Imanuel Kant
dalam bukunya Filosophy of Law, bahwa
pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk mempromosikan
tujuan/kebaikan lain, baik bagi si pelaku itu sendiri maupun bagi masyarakat.
Tapi. dalam semua hal harus dikenakan hanya karena orang yang bersangkutan
telah melakukan suatu kejahatan. Setiap orang seharusnya menerima ganjaran
seperti perbuatannya dan perasaan balas dendam tidak boleh tetap ada pada
anggota masyarkat. Itu sebabnya, teori ini disebut juga teori pembalasan.
Mengenai teori pembalasan ini, Andi Hamzah mengemukakan sebagai
berikut:
Teori pembalasan menyatakan bahwa
pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat.
Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkan pidana,
pidana secara mutlak ada, karena dilakukan suatu kejahatan. Tidaklah perlu
memikirkan manfaat penjatuhan pidana.
Apabila manfaat penjatuhan pidana
ini tidak perlu dipikirkan sebagaimana dikemukakan oleh penganut teori absolut
atau teori pembalasan ini, maka yang menjadi sasaran utama dari teori ini
adalah balas dendam. Dengan mempertahankan teori pembalasan yang pada
prinsipnya berpegang pada “pidana untuk pidana”, hal itu akan mengesampingkan
nilai-nilai kemanusiaan. Artinya. teori pembalasan itu tidak memikirkan
bagaimana membina si pelaku kejahatan.
Teori pembalasan atau absolut ini
terbagi atas pembalasan subjektif
dan pembalasan objektif. Pembalasan subjektif ialah pembalasan
terhadap kesalahan pelaku. Pembalasan
objektif ialah pembalasan terhadap apa yang telah diciptakan pelaku di
dunia luar.
Mengenai masalah pembalasan itu J.E. Sahetapy menyatakan:
Oleh karena itu, apabila pidana
itu dijatuhkan dengan tujuan semata-mata hanya untuk membalas dan menakutkan,
maka belum pasti tujuan ini akan tercapai. karena dalam diri si terdakwa belum
tentu ditimbulkan rasa bersalah atau menyesal, mungkin pula sebaliknya, bahkan
ia menaruh rasa dendam. Menurut hemat saya, membalas atau menakutkan si pelaku
dengan suatu pidana yang kejam memperkosa rasa keadilan.
Berat ringannya pidana bukan
merupakan ukuran untuk menyatakan narapidana sadar atau tidak. Pidana yang
berat bukanlah jaminan untuk membuat terdakwa menjadi sadar, mungkin juga akan
lebih jahat. Pidana yang ringan pun kadang-kadang dapat merangsang narapidana
untuk melakukan tindak pidana kembali. Oleh karena itu, usaha untuk menyadarkan
narapidana harus dihubungkan dengan berbagai faktor, misalnya apakah pelaku
tindak pidana itu mempunyai lapangan kerja atau tidak. Apabila pelaku tindak
pidana itu tidak mempunyai pekerjaan, maka masalahnya akan tetap menjadi
lingkaran setan, artinya begitu selesai menjalani pidana ada kecenderungan
untuk melakukan tindak pidana kembali.
Ada beberapa ciri dari teori
retributif sebagaimana yang diungkapkan oleh Karl O Cristiansen, yaitu:
a. Tujuan pidana semata-mata
untuk pembalasan;
b. Pembalasan merupakan tujuan
utama, tanpa mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain, misalnya kesejahteraan
rakyat;
c. Kesalahan merupakan
satu-satunya syarat bagi adanya pidana;
d. Pidana harus disesuaikan
dengan kesalahan pembuat;
e. Pidana melihat ke belakang
yang merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya tidak untuk memperbaiki,
mendidik, atau memasyarakatkan kembali pelanggar.
Dilihat dari sejarahnya, mungkin
teori ini dipandang tepat pada zamannya. Akan tetapi. dalam konteks
perkembangan masyarakat yang semakin beradab, maka sulit untuk menjelaskan
bahwa seseorang dipidana hanya karena orang telah melakukan kejahatan. Meskipun
rasa dendam ada pada setiap diri manusia dan kelompok masyarakat, tetapi
pemikiran yang rasional jelas tidak bijak untuk mengikuti tuntutan balas
dendam. Justru tugas pemikir untuk mengarahkan perasaan dendam pada tindakan
yang lebih bermartabat dan bermanfaat.
Dalam konteks sistem hukum pidana
Indonesia, karakteristik teori pembalasan jelas tidak sesuai (bertentangan)
dengan filosofi pemidanaan berdasarkan sistem pemasyarakatan yang dianut di
Indonesia (UU No. 12 Tahun 1995). Begitu juga dengan konsep yang dibangun dalam
RUU KUHP, yang secara tegas dalam hal tujuan pemidanaan disebutkan, bahwa
“Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat
manusia.
2. Teori Relatif atau Teori Tujuan
Teori relatif atau teori tujuan juga disebut teori utilitarian, lahir sebagai reaksi terhadap teori absolut.
Secara garis besar, tujuan pidana menurut teori relatif bukanlah sekadar
pembalasan, akan tetapi untuk mewujudkan ketertiban di dalam masyarakat.
Sebagaimana dikemukakan Koeswadji
bahwa tujuan pokok dari pemidanaan yaitu:
1. Untuk mempertahankan ketertiban
masyarakat (dehandhaving van de
maatschappelijke orde);
2. Untuk memperbaiki kerugian
yang diderita oleh masyarakat sebagai akibat dari terjadinya kejahatan. (het herstel van het doer de misdaad onstane
maatschappelijke nadeel);
3. Untuk memperbaiki si penjahat
(verbetering vande dader);
4. Untuk membinasakan si penjahat
(onschadelijk maken van de misdadiger);
5. Untuk mencegah kejahatan (tervoorkonning van de misdaad)
Tentang teori relatif ini, Muladi dan Barda Nawawi Arief
menjelaskan, bahwa:
Pidana bukan sekadar untuk
melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu
tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh
karena itu, teori ini pun sering juga disebut teori tujuan (utilitarian theory). Jadi, dasar
pembenaran adanya pidana menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya.
Pidana dijatuhkan bukan “quia peccatum
est” (karena orang membuat kejahatan) melainkan “nepeccetur' (supaya orang jangan melakukan kejahatan).
Jadi, tujuan pidana menurut teori relatif adalah untuk mencegah
agar ketertiban di dalam masyarakat tidak terganggu. Dengan kata lain, pidana
yang dijatuhkan kepada si pelaku kejahatan bukanlah untuk membalas
kejahatannya, melainkan untuk mempertahankan ketertiban umum. Filosof Inggris, Jeremy Bantham (1748-1832), merupakan
tokoh yang pendapatnya dapat dijadilan landasan dari teori ini. Menurut Jeremy Bantham, bahwa manusia merupakan
makhluk yang rasional yang akan memilih secara sadar kesenangan dan menghindari
kesusahan. Oleh karena itu, suatu pidana harus ditetapkan pada tiap kejahatan
sedemikian rupa sehingga kesusahan akan lebih berat daripada kesenganan yang
ditimbulkan oleh kejahatan. Mengenai tujuan-tujuan dari pidana adalah:
1. Mencegah semua pelanggaran;
2. Mencegah pelanggaran yang
paling jahat;
3. Menekan kejahatan;
4, Menekan kerugian/biaya
sekecil-kecilnya.
Dalam ilmu pengetahuan hukum
pidana. teori relatif ini dibagi dua
yaitu:
a) Prevensi umum (generale preventie),
b) Prevensi khusus (speciale preventie).
Mengenai prevensi umum dan khusus
tersebut, E. Utrecht menuliskan
sebagai berikut: “Prevensi umum
bertujuan untuk menghindarkan supaya orang pada umumnya tidak melanggar. Prevensi khusus bertujuan menghindarkan
supaya pembuat (dader) tidak
melanggar”.
Prevensi umum menekankan bahwa tujuan pidana adalah untuk
mempertahankan ketertiban masyarakat dari gangguan penjahat. Dengan memidana
pelaku kejahatan, diharapkan anggota masyarakat lainnya tidak akan melakukan
tindak pidana. Sedangkan teori prevensi
khusus menekankan bahwa tujuan pidana itu dimaksudkan agar narapidana
jangan mengulangi perbuatannya lagi. Dalam hal ini pidana itu berfungsi untuk
mendidik dan memperbaiki narapidana agar menjadi anggota masyarakat yang baik
dan berguna.
Dari uraian tersebut dapat
dikemukakan beberapa karakteristik dari teori
relatif atau teori utilitarian,
yaitu:
a. Tujuan pidana adalah
pencegahan (prevensi);
b. Pencegahan bukanlah pidana
akhir, tetapi merupakan sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, yaitu
kesejahteraan masyarakat;
c. Hanya pelanggaran-pelanggaran
hukum yang dapat dipersalahkan kepada si pelaku saja (misal karena sengaja atau
culpa/ yang memenuhi syarat untuk adanya pidana;
d. Pidana harus ditetapkan
berdasarkan tujuannya sebagai alat untuk pencegahan kejahatan.
e. Pidana berorientasi ke depan,
pidana dapat mengandung unsur pencelaan, tetapi baik unsur pencelaan maupun
unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak dapat membantu pencegahan
kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat.
Selanjutnya, Muladi dan Arief mengatakan
bahwa teori relatif (teori tujuan)
berporos pada tiga tujuan utama pemidanan, yaitu: preventif, deterrence,
dan reformatif. Teori ini diadopsi di
Indonesia dan dijadikan dasar teori pemasyarakatan. Namun ternyata, teori
pemasyarakatan banyak juga kelemahannya karena latar belakang pelaku kejahatan
dan jenis kejahatan yang beragam.
Dari gambaran tersebut, teori
tujuan ini juga tidak terlepas dari berbagai kelemahannya. Berkenaan dengan
pandangan Jeremy Bantham, bahwa
manusia merupakan makhluk yang rasional yang akan memilih secara sadar
kesenangan dan menghindari kesusahan. Perlu dipersoalkan, karena kejahatan
dilakukan dengan motif yang beragam.
Tidak semua kejahatan dapat
dilakukan dengan rasional, dalam melakukan kejahatan tidak jarang manusia
melakukan tidak atas dasar rasionya, tetapi lebih pada dorongan emosional yang
kuat sehingga mengalahkan rasionya. Ini artinya, dari sisi motif kejahatan
dapat diklasiflkasikan atas kejahatan dengan motif rasional dan kejahatan
dengan motif emosional.
Sistem hukum pidana Indonesia
boleh dikatakan dekat dengan teori tujuan ini. Hal ini terbukti dengan
perkembangan teori pemasyarakatan dan system pemasyarakatan yang kemudian
diimplementasikan dalam UU No. 12 Tahun 1995 tentang Sistem Pemasyarakatan.
Dari rumusan rancangan KUHP juga terlihat kedekatan gagasan tersebut dengan
teori relatif. Kendati demikian, pemidanaan dengan tujuan membina penjahat
menjadi pentobat, juga sulit dilakukan tanpa dilakukan dengan pendekatan
individualisasi pidana. Contoh sederhana adalah apakah bisa disamakan
pemidanaan terhadap pencuri ayam yang mencuri karena lapar, koruptor yang
rakus, dan pecandu narkoba serta pembunuh yang membunuh karena sakit hati?
Gambaran ini mengindikasikan bahwa teori tujuan juga tidak dapat untuk
memberikan landasan secara utuh tentang perlunya pidana.
3. Teori Gabungan
Menurut teori gabungan bahwa
tujuan pidana itu selain membalas kesalahan penjahat, juga dimaksudkan untuk
melindungi masyarakat dengan mewujudkan ketertiban. Teori ini menggunakan kedua
teori tersebut di atas (teori absolut
dan teori relatif) sebagai dasar
pemidanaan, dengan pertimbangan bahwa kedua teori tersebut memiliki
kelemahan-kelemahan, yaitu:
1.Kelemahan teori absolut adalah menimbulkan ketidakadilan karena
dalam penjatuhan hukuman perlu mempertimbangkan bukti-bukti yang ada dan
pembalasan yang dimaksud tidak harus negara yang melaksanakan.
2. Kelemahan teori relatif yaitu dapat menimbulkan ketidakadilan
karena pelaku tindak pidana ringan dapat dijatuhi hukum berat; kepuasan
masyarakat diabaikan jika tujuannya untuk memperbaiki masyarakat; dan mencegah
kejahatan dengan menakut-nakuti sulit dilaksanakan. Walaupun terdapat perbedaan
pendapat di kalangan sarjana
mengenai tujuan pidana itu, namun ada satu hal yang tidak dapat dibantah, yaitu
bahwa pidana itu merupakan salah satu sarana untuk mencegah kejahatan serta
memperbaiki narapidana. Demikian juga halnya dengan pidana penjara merupakan
sarana untuk memperbaiki narapidana agar menjadi manusia yang berguna di
masyarakat.
Teori integratif dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu :
a. Teori integratif yang
menitikberatkan pembalasan, tetapi tidak boleh melampaui batas apa yang perlu
dan sudah cukup untuk dapat mempertahankan tata tertib masyarakat.
b. Teori integratif yang
menitikberatkan pada pertahanan tata tertib masyarakat, tetapi tidak boleh
lebih berat dari suatu penderitaan yang beratnya sesuai dengan beratnya
perbuatan yang dilakukan oleh narapidana.
c. Teori integratif yang
menganggap harus ada keseimbangan antara kedua hal tersebut.
Dengan demikian, pada hakikatnya,
pidana adalah merupakan perlindungan terhadap masyarakat dan pembalasan
terhadap perbuatan melanggar hukum. Di samping itu, Roeslan Saleh juga mengemukakan bahwa pidana mengandung hal-hal
lain. yaitu bahwa pidana diharapkan sebagai sesuatu yang akan membawa kerukunan
dan pidana adalah suatu proses pendidikan untuk menjadikan orang dapat diterima
kembali dalam masyarakat.
Dalam konteks itulah Muladi
mengajukan kombinasi tujuan pemidanaan yang dianggap cocok dengan pendekatan-pendekatan
sosiologis, ideologis, dan yuridis filosofis dengan dilandasi oleh asumsi dasar
bahwa tindak pidana merupakan gangguan terhadap keseimbangan, keselarasan, dan
keserasian dalam kehidupan masyarakat, yang mengakibatkan kerusakan individual
atau pun masyarakat. Dengan demikian, maka tujuan pemidanaan adalah untuk
memperbaiki kerusakan individual dan sosial yang diakibatkan oleh tindak
pidana. Perangkat tujuan pemidanaan tersebut adalah: (a) pencegahan (umum dan khusus), (b) perlindungan masyarakat, (c) memelihara
solidaritas masyarakat, (d) pengimbalan/lpengimbangan.
Dalam naskah Rancangan
Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-undang Hukum Pidana Tahun 2005, mengenai
tujuan pemidanaan diatur dalam Pasal 54, yaitu:
a. Pemidanaan bertujuan:
a) Mencegah dilakukannya tindak
pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;
b) Memasyarakatkan narapidana
dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;
c) Menyelesaikan konflik yang
ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa
damai dalam masyarakat, dan
d) Membebaskan rasa bersalah pada
terpidana,
e) Memaafkan terpidana.
b. Pemidanaan tidak dimaksudkan
untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.
Melihat tujuan pemidanaan
tersebut, Sahetapy mengemukakan
bahwa tujuan pemidanaan tersebut sangat penting, karena hakim harus merenungkan
aspek pidana/pemidanaan dalam kerangka tujuan pemidanaan tersebut dengan
memperhatikan bukan saja rasa keadilan dalam kalbu masyarakat, melainkan harus
mampu menganalisis relasi timbal balik antara si pelaku dengan si korban.
Dari sejumlah pendapat ahli hukum
pidana mengenai tujuan pidana dan pemidanaan sebagaimana disebutkan di atas,
kesemuanya menunjukkan bahwa tujuan pidana dan pemidanaan itu tidaklah tunggal,
misalnya untuk pembalasan semata, atau untuk pencegahan saja. Akan tetapi,
penulis sependapat bahwa tujuan pidana dan pemidanaan itu meliputi beberapa
tujuan secara integratif.
Sehubungan dengan tujuan pidana, Andi Hamzah mengemukakan tiga R dan
satu D, yakni. Reformation, Restraint, dan Restribution, serta
Deterrence. Reformasi berarti
memperbaiki atau merehabilitasi penjahat menjadi orang baik dan berguna bagi
masyarakat. Restraint maksudnya
mengasingkan pelanggar dari masyarakat, juga tersingkirnya pelanggar hukum dari
masyarakat, berarti masyarakat itu akan menjadi lebih aman. Retribution ialah pembalasan terhadap
pelanggar hukum karena telah melakukan kejahatan. Deterrence berarti menjera atau mencegah sehingga baik terdakwa
sebagai individual, maupun orang lain yang potensial menjadi penjahat akan jera
atau takut untuk melakukan kejahatan karena melihat pidana yang dijatuhkan
kepada terdakwa. Menurut Sholehuddin
tujuan pemidanaan yaitu:
Pertama, memberikan efek penjeraan dan penangkalan. Penjeraan
berarti menjauhkan si terpidana dari kemungkinan mengulangi kejahatan yang
sama, sedangkan tujuan sebagai penangkal berarti pemidanaan berfungsi sebagai
contoh yang mengingatkan dan menakutkan bagi penjahat-penjahat potensial dalam
masyarakat.
Kedua, pemidanaan sebagai rehabilitasi. Teori tujuan menganggap
pernidanaan sebagai jalan untuk mencapai reformasi atau rehabilitasi pada si
terpidana. Ciri khas dari pandangan tersebut adalah pemidanaan merupakan proses
pengobatan sosial dan moral bagi seorang terpidana agar kembali berintegrasi
dalam masyarakat secara wajar.
Ketiga, pemidanaan sebagai wahana pendidikan moral, atau merupakan
proses reformasi. Karena itu, dalam proses pemidanaan, si terpidana dibantu
untuk menyadari dan mengakui kesalahan yang dituduhkan kepadanya.
Teori gabungan pada hakikatnya
lahir dari ketidakpuasan terhadap gagasan teori pembalasan maupun unsur-unsur
yang positif dari kedua teori tersebut yang kemudian dijadikan titik tolak dari
teori gabungan. Teori ini berusaha untuk menciptakan keseimbangan antara unsur
pembalasan dengan tujuan memperbaiki pelaku kejahatan. Meskipun dimulai dengan
menekan kekurangan dari teori pembalasan.
Comments
Post a Comment
Silahkan berkomentar secara bijak dan sesuai dengan topik pembahasan