Skip to main content

PENGERTIAN ANAK MENURUT UNDANG-UNDANG


Di Indonesia apa yang dimaksud dengan anak tidak ada kesatuan pengertian. Hal ini disebabkan oleh peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kepentingan anak, masing-masing memberikan pengertiannya sesuai dengan maksud dikeluarkannya peraturan perundang-undangan tersebut. Sebagai contoh dapat dilihat di bawah ini.

A. MENURUT UU NO. 4 TAHUN 1979 TENTANG KESEJAHTERAAN ANAK

Pasal 1 angka 2 UU No. 4 Tahun 1979 menentukan:
"Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin". 

Rupanya pembentuk undang-undang pada waktu membentuk UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak terpengaruh pada Ordonansi tanggal 31 Januari 1931 (LN 1931-254) yang menentukan: Untuk menghilangkan segala keragu-raguan yang timbul karena ordonansi 21 Desember 1917, LN 1917-138, dengan mencabut ordonansi ini, ditentukan sebagai berikut.

(1) Apabila peraturan perundang-undangan memakai istilah "belum dewasa”, maka sekadar mengenai bangsa Indonesia. dengan istilah itu yang dimaksudkan: segala orang yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah menikah.
(2) Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap 21 (dua puluh satu) tahun, maka tidaklah mereka kembali lagi dalam istilah "belum dewasa".
(3) Dalam paham perkawinan, tidaklah termasuk perkawinan anak-anak.

Dari pengertian anak sebagaimana yang dimaksud Pasal 1 angka 2 UU No. 4 Tahun 1979 tersebut dapat diketahui bahwa seseorang dapat disebut anak jika memenuhi syarat sebagai berikut:
1. belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan
2. belum pernah kawin.

Oleh penjelasan Pasal 1 angka 3 UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak disebutkan bahwa batas umur genap 21 (dua puluh satu) tahun ditetapkan oleh karena berdasarkan pertimbanga-npertimbangan usaha kesejahteraan sosial, tahap kematangan sosial. kematangan pribadi, dan kematangan mental seorang anak dicapai pada umur tersebut. 

Batas umur genap 21 (dua puluh satu) tahun tidak mengurangi ketentuan batas umur dalam peraturan perundang-undangan lainnya dan tidak perlu mengurangi kemungkinan anak melakukan perbuatan sejauh ia mempunyai kemampuan untuk itu berdasarkan hukum yang berlaku.

Yang dimaksud dengan frasa "belum pernah kawin” dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak adalah belum pernah kawin atau mengadakan perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

B. MENURUT UU NO. 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK 

Pasal 1 angka 1 UU No. 23 Tahun 2002 menentukan:
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Dari pengertian anak sebagaimana yang dimaksud Pasal 1 angka 1 UU No. 23 Tahun 2002 tersebut dapat diketahui bahwa seseorang dapat disebut anak jika memenuhi syarat sebagai berikut:
1. belum berusia 18 (delapan belas) tahun;
2. termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Frasa "belum berusia 18 (delapan belas) tahun" dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sama dengan frasa” di bawah umur 18 (delapan belas) tahun dalam Pasal 1 Konvensi tentang Hak-Hak Anak yang telah diratifikasi dengan UU No. 5 Tahun 1998.

Untuk memberikan arti dari frasa “termasuk anak yang masih dalam kandungan" dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perindungan Anak agar dikaitkan dengan Pasal 2 KUH Perdata yang menentukan bahwa:
Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya. 

Dalam hal ini yang dianggap "kepentingan si anak menghendaki" dalam Pasal 2 KUH Perdata, misalnya adalah berkaitan dengan masalah "pewarisan" atau dengan perkataan lain masalah pengoperan hak-hak (kewajiban-kewaiiban) pewarisnya.

C. MENURUT KONVENSl TENTANG HAK-HAK ANAK

Pasal 1 Konvensi tentang Hak-Hak Anak menentukan:
Untuk tujuan-tujuan Konvensi ini, seorang anak berarti setiap manusia di bawah umur 18 (delapan belas) tahun, kecuali menurut undang-undang yang berlaku pada anak, kedewasaan dicapai lebih awal.

Konvensi tentang Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child). Resolusi Nomor 109 Tahun 1990 yang diratifikasi dengan Keputusan Presiden Rl Nomor 36 Tahun 1990 dijadikan salah satu pertimbangan dibentuknya UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Pasal 1 Konvensi tentang Hak-Hak Anak hendak memberikan pengertian tentang anak. yaitu semua orang yang berusia di bawah 18 [delapan belas] tahun. kecuali undang-undang menetapkan bahwa kedewasaan dicapai lebih awal. 

UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak kemudian menjabarkan Pasal 1 Konvensi tentang Hak-Hak Anak dengan menentukan bahwa yang disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas] tahun yang diduga melakukan tindak pidana. 

Untuk dapat disebut anak menurut Pasal 1 Konvensi Hak-Hak Anak, tidak usah mempermasalahkan apakah anak tersebut sudah atau belum kawin
.
D. MENURUT UU NO. 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

Untuk pembahasan Sistem Peradilan Pidana Anak, yang menjadi pembahasan utama dan selanjutnya adalah pengertian anak menurut UU No.11 Tahun 2012.

Jika diperhatikan pengertian Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 1 UU No. 11 Tahun 2012, maka dapat diketahui bahwa Sistem Peradilan Pidana Anak yang diatur dalam UU No. 11 Tahun 2012 adalah sistem mengenai proses penyelesaian perkara "anak yang berhadapan dengan hukum".

"Anak yang berhadapan dengan hukum" yang dimaksud oleh UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. menurut Pasal 1 angka 2 UU No. 11 Tahun 2012, terdiri atas:

1. anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana (Pasal 1 angka 3]
2. anak yang menjadi korban tindak pidana yang selanjutnya disebut anak korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik. mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana (Pasal 1 angka 4);
3. anak yang menjadi saksi tindak pidana yang selanjutnya disebut anak saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang di dengar, dilihat dan/atau dialaminya sendiri [Pasal 1 angka 5).

Menurut penulis, frasa "anak yang berhadapan dengan hukum" dalam Pasal 1 angka 2 diambil dari ketentuan yang terdapat dalam pasal-pasal berikut.

1. Pasal 59 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, menyebutkan:
Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum dan seterusnya.
2. Pasal 64 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, menyebutkan:
Ayat (1) : Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana, merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.
Ayat (2): Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui:
a. perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak;
b. penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini;
c. penyediaan sarana dan prasarana khusus;
d. penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak;
e. pemantauan dan pencatatan terus-menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum;
f. pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan orang tua atau keluarga; dan
g. perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media masa dan untuk menghindari labelisasi. 

Dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 angka 33 tersebut dapat ketahui bahwa yang dimaksud dengan "anak" dalam UU No. 11 Tahun 2012 adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana‘ atau dengan kata lain yang dimaksud dengan anak dalam UU No. 11 Tahun 2012 adalah anak yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut.

1. Telah berumur 12 [dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun.
2. Anak tersebut diduga melakukan tindak pidana.

Perlu ditekankan bahwa apa yang disebut “anak" menurut UU No. 11 Tahun 2012 adalah anak menurut pengertian hukum, khusus hanya berlaku untuk UU No. 11 Tahun 2012 saja. Hal ini yang mungkin berlainan dengan pengertian sehari-hari tentang anak atau pengertian yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan lain selain UU No. 11 Tahun 2012.

Dengan adanya syarat bahwa menurut UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak apa yang dimaksud dengan "anak" harus telah berumur 12 (dua belas) tahun. tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun. maka akibatnya anak yang belum berumur 12 [dua belas) tahun bukan "anak" dalam pengertian seperti yang dimaksud oleh UU No. 11 Tahun 2012.

Oleh karena itu, persoalan umur dari anak adalah sangat menentukan dalam penyelesaian perkara anak menurut UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Sejalan dengan persoalan menentukan umur dari anak tersebut harus didukung oleh alat-alat bukti berupa surat (Pasal 189 ayat (1) huruf c KUHAP), misalnya Kartu Tanda Penduduk, Kartu Keluarga atau Surat Keterangan Kependudukan sebagaimana dimaksud oleh UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

Jika seandainya alat-alat bukti tersebut belum atau tidak ada, maka dapat diganti dengan alat bukti berupa keterangan saksi (Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP), misalnya keterangan dari orang tua atau wali dari anak.

Dalam merumuskan apa yang dimaksud dengan "anak" menurut UU No. 11 Tahun 2012 tersebut, tidak tergantung apakah anak sudah (pernah) kawin atau belum (pernah] kawin, sehingga akibatnya anak yang sudah (pernah) kawin sebelum berumur 12 (dua belas) tahun, bahkan mungkin sudah mempunyai keturunan, anak tersebut masih tetap bukan "anak” menurut pengertian UU No. 11 Tahun 2012.

Dalam Risalah Rapat Panja RUU Sistem Peradilan Pidana Anak disebutkan, bahwa hasil penelitian dan juga menurut beberapa observasi dari lembaga-lembaga terkait, termasuk di tingkat internasional,  seyogianya status perkawinan itu tidak dijadikan alasan untuk menentukan kedewasaan seseorang. Hal ini selaras dengan undang-undang kita yang melarang adanya perkawinan anak atau child merried. Jadi, tugas negara dan orang tua adalah mencegah perkawinan dini agar semakin lama makin hilang.

Frasa "diduga" dalam Pasal 1 angka 3 berasal dari kata dasar "duga” yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, artinya adalah menyangka atau memperkirakan [akan terjadi sesuatu).

Dengan demikian, apa yang dimaksud dengan "anak tersebut diduga melakukan tindak pidana" dalam Pasal 1 angka 3 adalah anak tersebut disangka atau diperkirakan melakukan tindak pidana".

Apakah yang dimaksud dengan alasan-alasan atau syarat-syarat yang diperlukan agar seorang anak dapat diduga melakukan tindak pidana?

Frasa “diduga" dalam Pasal 1 angka 3 dijumpai pula dalam Pasal 17 KUHAP yang menentukan: “Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup".

Apa yang dimaksud dengan "bukti permulaan yang cukup" dalam Pasal 17 KUHAP tersebut, M. Yahya Harahap“ mengemukakan:
.... Mengenai apa yang dimaksud dengan permulaan bukti yang cukup, pembuat undang-undang menyerahkan sepenuhnya kepada penilaian penyidik Akan tetapi, sangat disadari cara penerapan yang demikian, bisa menimbulkan ”kekurang-pastian" dalam praktik hukum serta sekaligus membawa kesulitan bagi pra pengadilan untuk menilai tentang ada atau tidak permulaan bukti yang cukup". 

Dalam hal ini yang paling rasional dan realistis, apabila perkataan “permulaan” dibuang, sehingga kalimat itu berbunyi "diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup". ]ika seperti ini rumusan Pasal 17, pengertian dan penerapannya lebih pasti. Pengertian yang dirumuskan dalam pasal itu hampir sama dengan pengertian yang terdapat pada hukum acara pidana Amerika, yang menegaskan bahwa untuk melakukan tindakan penangkapan atau penahanan, harus didasarkan atas affidavit testimony, yakni adanya bukti dan kesaksian. 

Kita percaya jika ketentuan Pasal 17 ini dipedomani oleh penyidik dengan sungguh-sungguh dapat diharapkan suasana penegakan hukum yang lebih objektif. Tangan-tangan penyidik tidak lagi seringan ini melakukan penangkapan. Sebab jika ditelaah pengertian bukti permulaan yang cukup, pengertiannya hampir sama dengan apa yang dirumuskan Pasal 183, yakni harus berdasar prinsip “batas minimal pembuktian yang terdiri dari dua orang saksi atau saksi ditambah satu alat bukti lain .… dan seterusnya".

Sebagai kesimpulan dapat dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan frasa "anak yang diduga melakukan tindak pidana" dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 11 Tahun 2012, tidak atau bukan anak yang sekadar dapat diduga tanpa adanya alasan atau syarat sebagai alat bukti, tetapi adalah anak yang minimal terdapat (dua) alat bukti yang menunjukkan bahwa anak tersebut diduga melakukan tindak pidana. Frasa "tindak pidana” dalam Pasal 1 angka 3 adalah terjemahan dari kata strafbaar feit atau delik. 

Di samping terjemahan tindak pidana (strafbaar feit) atau delik juga diterjemahkan menjadi pelanggaran pidana, perbuatan yang boleh dihukum atau perbuatan pidana, yang oleh Moeliatno dimaksudkan sebagai perbuatan yang dilarang atau diancam dengan pidana, barang siapa melanggar larangan tersebut.

Perbuatan dikualifikasikan sebagai perbuatan pidana, jika menurut peraturan tertulis, baik merupakan undang-undang atau peraturan daerah maupun peraturan tidak tertulis seperti yang dimaksud oleh Pasal 5 ayat (3) huruf b Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-Tindakan untuk Menyelenggarakan Susunan, Kekuasaan, atau Acara Pengadilan Sipil.

Sumber : Sistem peradilan anak di indonesia (R. Wiyono)

Comments

Popular posts from this blog

TEORI TUJUAN PEMIDANAAN

Teori tujuan pemidanaan adalah teori relatif. Teori ini berporos pada tiga tujuan utama pemidanaan, yaitu preventif ; untuk melindungi masyarakat dengan menempatkan pelaku kejahatan terpisah dari masyarakat. dalam hal pemidanaan hal ini biasa disebut dengan incapacition . Deterrence (menakuti) dalam pemidanaan tidak lain agar timbul rasa takut untuk melakukan kejahatan. Tujuan ini dibagi atas tiga bagian, yaitu tujuan yang bersifat individual dimaksudkan agar pelaku merasa jerah untuk melakukan kejahatan kembali. Tujuan deterrence yang bersifat publik, agar anggota masyarakat lain merasa takut untuk melakukan kejahatan, sedangkan tujuan deterrence yang bersifat jangka panjang agar dapat memelihara kelanggengan sikap masyarakat terhadap pidana, teori ini sering juga disebut sebagai educative theory atau denunciation theory . Sesuai dengan politik hukum pidana, maka tujuan pemidanaan harus diarahkan kepada perlindungan masyarakat dari kesejahteraan serta keseimbangan dan k

MACAM-MACAM HAK

Sesuatu peristiwa yang terjadi dalam masyarakat yang akibatnya di atur oleh hukum,dapat menyebabkan hukum objektif beraksi.hukum objektif beraksi dapat menimbulkan atau memberikan hak dan meletakkan kewajiban pada pihak lain. Di samping itu,hukum obyektif bereaksi juga dapat menyebabkan kedua belah pihak mendapatkan kewajiban yang berhubungan dengan hak-hak tersebut. Hak-hak yang timbul oleh reaksi dari hukum objektif tersebut dapat bermacam-macam.Hak itu di bagi dalam dua bagian besar,yaitu hak absolut atau hak mutlak dan hak nisbi. 1.    Hak Absolut atau Hak Mutlak Yang di maksud dengan hak absolut adalah setiap kekuasaan yang di berikan oleh hukum kepada subyek hukum untuk berbuat sesuatu atau untuk bertindak dalam memperhatikan kepentingannya.Hak itu berlaku secara mutlak terhadap subyek hukum lain dan setiap subyek hukum yang lain berkewajiban menghormati hak tersebut. Misalnya subyek hukum yang mempunyai hak milik terhadap suatu benda mempunyai kekuasaan mutlak d

JENIS-JENIS TINDAK PIDANA

Dalam hukum pidana diadakan pembagian mengenai tindak pidana. KUHP mengadakan pembagian ke dalam 2 jenis tindak pidana yaitu : a    Kejahatan ( Misdrijven ) b    Pelanggaran ( overtredingen ) Pembagian tindak pidana dalam jenis kejahatan dan pelanggaran ini adalah penting karena membawa akibat-akibat tertentu. Oleh karena itu setiap ketentuan pidana selalu harus dinyatakan dengan tegas, apakah merupakan kejahatan atau pelanggaran. 1    Kejahatan dan Pelanggaran KUHP menempatkan kejahatan di dalam buku kedua dan pelanggaran dalam buku ketiga, tetapi tidak ada penjelasan mengenai apa yang disebut kejahatan dan pelanggaran. Semuanya diserahkan kepada ilmu pengetahuan untuk memberikan dasarnya. Dengan membedakan bahwa kejahatan merupakan rechdelict atau delik hukum dan pelanggaran merupakan wetsdelict atau delik undang-undang. Delik hukum adalah pelanggaran hukum yang dirasakan melanggar rasa keadilan misalnya perbuatan seperti pembunuhan, pencurian dan sebagainya.  Sedangkan del